Duka di Akhir Tahun 2009
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun, mantan presiden RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah meninggal dunia pada Hari Rabu pukul 18.45 WIB di RSCM. Beliau Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, dan meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun
Semoga Beliau Mendapatkan Rahmat, Ampunan dan Tempat yang Terbaik diSisiNya. Amiin
Suatu kesedihan yang sangat mendalam karena ditinggal pergi oleh sang Idola "KH.Abdurrahman Wahid" sehingga tak mampu lagi saya untuk mengungkapkan dengan kata - kata. Berikut adalah sebuah Artikel dari Bapak Yahya Staquf yang ingin saya sampaikan untuk berbagi dengan saudara - saudara Blogger seTanah Air
[ Kamis, 31 Desember 2009 ]
Yahya C. Staquf: Gus Durku, Bung Karnoku...
INI kehilangan tak terperi. Tapi, diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang ditetapkan sebelumnya.
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PB NU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) di Kramat Raya, Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur berada di dalamnya.
Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya. Itulah strokenya yang pertama dan paling dahsyat yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum malapetaka tersebut, Gus Dur adalah sosok ''pendekar'' yang nyaris tak terkalahkan. Waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Tapi, ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa, sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya.
Saya tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda. Wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.
Saya telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diri sendiri sebagai murid beliau sejak masih remaja. Tapi, Gus Dur memang telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan serta tindakan-tindakannya
Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat ditunjuk menjadi salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta'dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi, inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.
Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada ''Nawaksara'', mengingatkanku pada ''Revolusi belum selesai!''
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun, aku justru melihat, daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika.
Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahun, sedangkan kita mengimpor lebih dari separo jumlah itu, dari Amerika pula. Karena itu, presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika.
Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah kita ke sana. Maka, presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita.
Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hassanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam. Lalu, melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana...
Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi, sungguh yang terbetik di benakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno.
Yaitu, mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu, bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan bila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu, bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerja sama di antara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.
Hanya, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan tersebut dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya memang menjadi andalannya.
Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku, layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.
Tapi, pahlawanku bertempur di tengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka, nasib Diponegoro pun dicicipinya pula...
Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, daripada ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja.
Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.
Kini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hamba-Nya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat dia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya.
*). Yahya C. Staquf, mantan juru bicara Gus Dur
Semoga Beliau Mendapatkan Rahmat, Ampunan dan Tempat yang Terbaik diSisiNya. Amiin
Suatu kesedihan yang sangat mendalam karena ditinggal pergi oleh sang Idola "KH.Abdurrahman Wahid" sehingga tak mampu lagi saya untuk mengungkapkan dengan kata - kata. Berikut adalah sebuah Artikel dari Bapak Yahya Staquf yang ingin saya sampaikan untuk berbagi dengan saudara - saudara Blogger seTanah Air
[ Kamis, 31 Desember 2009 ]
Yahya C. Staquf: Gus Durku, Bung Karnoku...
INI kehilangan tak terperi. Tapi, diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang ditetapkan sebelumnya.
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PB NU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) di Kramat Raya, Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur berada di dalamnya.
Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya. Itulah strokenya yang pertama dan paling dahsyat yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum malapetaka tersebut, Gus Dur adalah sosok ''pendekar'' yang nyaris tak terkalahkan. Waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Tapi, ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa, sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya.
Saya tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda. Wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.
Saya telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diri sendiri sebagai murid beliau sejak masih remaja. Tapi, Gus Dur memang telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan serta tindakan-tindakannya
Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat ditunjuk menjadi salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta'dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi, inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.
Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada ''Nawaksara'', mengingatkanku pada ''Revolusi belum selesai!''
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun, aku justru melihat, daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika.
Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahun, sedangkan kita mengimpor lebih dari separo jumlah itu, dari Amerika pula. Karena itu, presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika.
Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah kita ke sana. Maka, presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita.
Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hassanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam. Lalu, melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana...
Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi, sungguh yang terbetik di benakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno.
Yaitu, mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu, bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan bila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu, bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerja sama di antara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.
Hanya, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan tersebut dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya memang menjadi andalannya.
Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku, layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.
Tapi, pahlawanku bertempur di tengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka, nasib Diponegoro pun dicicipinya pula...
Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, daripada ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja.
Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.
Kini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hamba-Nya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat dia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya.
*). Yahya C. Staquf, mantan juru bicara Gus Dur
Komentar
Allahumma laa tahrimna ajrahu walaa taftinna ba'dahuu waghfirlanaa walahuu birohmatika ya Arhama Raahimiin.
terima kasih brader psycho...
Selamat jalan Gus Dur...Semoga Arwahmu mendapat tempat yang layak dan setimpal atas jasa2 mu sebagai GURU bangsa ini....
selamat berisitirahat gus ..semoga perjuanganmu akan bisa dilanjutkan oleh para pemimpin negeri ini ..menuju negeri yg lebih bermartabat sejajar dg yg lainnya.. amiin
(hanya doa tahlil yg sanggup kami panjatkan dr jamaah pengajian pinggir kali di semarang )